Posting ini merupakan kelanjutan dari posting pertama, Catatan Mudik #1, Kopdar dan Fungsionalitas Kronologger. Sengaja saya tempatkan di blognya Zeze Vavai karena memuat foto Zeze Vavai sedang memetik mangga, hehehe…
Salah satu moment yang saya senangi saat pulang kampung (meski ini kampung isteri, bukan kampung saya secara saya ini orang kota. Hah ? Orang kota ???! 😛 ) adalah suasana alam yang teduh dan sejuk. Kalaupun tidak sejuk, ada suasana pedesaan yang bisa dinikmati.
Sudah 3 tahun ini saya perhatikan Lebaran selalu bersamaan dengan musim mangga. Tahun ini Lebaran memang agak lebih cepat dibandingkan waktu panen mangga namun disepanjang ruas jalan Indramayu (daerah Kandang Haur dan Jatibarang), deretan penjual mangga cukup banyak. Meski cukup menggoda, saya tidak membelinya karena di rumah family di Brebes biasanya mangga tersedia untuk dimakan hingga mulas :-D.
Benar saja, saat sampai di Brebes, banyak pohon mangga yang sedang berbuah. Satu hal yang membuat saya heran adalah, mengapa didaerah Brebes ini pohon mangga dapat berbuah lebat. Beberapa diantaranya dapat digapai oleh Zeze Vavai (ZezeVavai berusia 1 tahun 7 bulan Lebaran ini) tanpa harus naik ke kursi. Saya membayangkan kalau saja seperti ini di Bekasi mungkin sudah banyak yang hilang dipetik orang yang lewat, hehehe… Apakah karena tanahnya yang dekat pantai ataukah ada sebab lain sehingga pohon mangga dapat tumbuh subur dan berbuah lebat. Sepanjang perjalanan mudik kemarin, saya lihat daerah Indramayu, Brebes-Tegal dan Boyolali bisa menjadi sentra produksi mangga.
Selain soal mangga, hal lain yang menyenangkan adalah saat saya singgah ketempat seorang rekan adik isteri saya (halah, rumit amat :-P) didaerah Kebumen. Tempatnya sejuk. Tidak jauh dari dari pasar Sumpiuh Kebumen. Saat kesana, kami melintasi kebun sayur, kali kecil dengan air jernih dan naungan pohon kelapa. Pohon-pohon masih rimbun dan kami sampai susah mencari jalan karena bisa dibilang rumahnya ditengah kebun :-D. Benar-benar khas pedesaan.
Tak berapa lama setelah kami sampai ditujuan (disuguhi buah-buahan yang dipetik langsung dari belakang rumah), tuan rumah mempersilakan kami (saya, Zeze vavai, isteri dan keluarga isteri) makan. Melihat lauknya, saya sempat merasa heran melihat ikan Gabus dalam ukuran ‘remaja’ yang digoreng dalam jumlah yang cukup banyak. Saya terbiasa makan sayur ikan Gabus pucung di Bekasi jadi tidak terlalu heran dengan ikan gabus. Yang mengherankan adalah, ikan Gabus sudah langka di Bekasi dan harganya cukup mahal tapi di Kebumen ini malah disediakan dalam jumlah yang banyak. Saat ditanyakan, tuan rumah menjawab bahwa ikan Gabus itu didapat dari sawah dan kali dibelakang rumah, bukan dari membeli. Sambil tersenyum ditambahkan, “masih ada 1 ember lagi tuh…”
Kadang saya jadi berpikir, jika semua kebutuhan ada dan tersedia didesa, mengapa banyak orang yang lebih memilih untuk bekerja diluar daerah, Jakarta misalnya… Bukankah jauh lebih enak jika kita bisa bekerja secara remote tanpa harus menghabiskan waktu. Ya-ya-ya, saya tahu tidak semua pekerjaan bisa dilakukan secara remote. Saya bicara dalam kaitan dengan “professional blogger” atau “professional IT“.
Saya sudah mengecek kualitas sinyal di Kebumen. Meski tidak dapat 3G, akses GPRS dapat tetap dilakukan tanpa masalah. Bayangkan jika kita bisa bekerja sebagai blogger professional atau penulis atau seniman atau pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan tanpa harus hadir secara fisik setiap harinya. Kita bisa tetap bekerja dari tengah kebun, sambil memancing atau sambil bercocok tanam (bisa nggak ya nyangkul sambil ngetik 😀 ).
Bayangkan jika kita dapat mengirim hasil pekerjaan secara online. Mengecek dan melakukan maintenance sistem secara remote. Menerima pembayaran secara online. Kita tidak perlu menghabiskan waktu dijalan, ditengah kemacetan yang sudah semakin menyebalkan.
Okay, menjadi pekerja professional juga butuh sosialisasi dan saya tidak meniadakan kemungkinan itu. Apa yang saya sampaikan adalah bayangan pribadi saya satu waktu nanti. Mungkin 1 tahun kedepan, mungkin juga 2 atau 3 tahun kedepan. Saya hanya tidak ingin satu waktu terjaga dari rutinitas dan tiba-tiba menyadari bahwa sebagian besar umur saya telah saya habiskan dijalan…
Aku manusia pejalan
Bagai sungai berteman sampah, limbah, tak peduli sumpah serapah
Dari kemarau ke bulan
Melepas fajar menanti senja
Mengejar bayanganku sendiri.
Kata bunda, “Jangan tinggalkan rumah”
Karena disana aku ada, besar, nakal dan mimpi-mimpi
Tapi aku lompati pagar, memilih barat dan timur
Sampai habis batas umur
Ya, akulah manusia pejalan
Tak tahu kapan mesti berhenti
(Taken from Balada si Roy, berdasarkan ingatan…)